0

kurikulum 2013

Kurikulum 2013 

Oleh Mohammad Nuh

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI

Artikel ini Sudah Dimuat di Harian Kompas, Kamis, 7 Maret 2013

 

Dalam beberapa bulan terakhir, harian Kompas memuat tulisan dari mereka yang pro ataupun kontra terhadap rencana implementasi Kurikulum 2013. Saya menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi atas berbagai pandangan tersebut.

 

Saya berkesimpulan, mereka yang mempertanyakan kurikulum 2013 adalah karena ada perbedaan cara pandang atau belum memahami secara utuh konsep kurikulum berbasis kompetensi yang menjadi dasar Kurikulum 2013.

Secara falsafati, pendidikan adalah proses panjang dan berkelanjutan untuk mentransformasikan peserta didik menjadi manusia yang sesuai dengan tujuan penciptaannya, yaitu bermanfaat bagi dirinya, bagi sesama, bagi alam semesta, beserta segenap isi dan peradabannya.

 

Dalam UU Sisdiknas, menjadi bermanfaat itu dirumuskan dalam indikator strategis, seperti beriman-bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam memenuhi kebutuhan kompetensi Abad 21, UU Sisdiknas juga memberikan arahan yang jelas, bahwa tujuan pendidikan harus dicapai salah satunya melalui penerapan kurikulum berbasis kompetensi. Kompetensi lulusan program pendidikan harus mencakup tiga kompetensi, yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan, sehingga yang dihasilkan adalah manusia seutuhnya. Dengan demikian, tujuan pendidikan nasional perlu dijabarkan menjadi himpunan kompetensi dalam tiga ranah kompetensi (sikap, pengetahuan, dan keterampilan). Di dalamnya terdapat sejumlah kompetensi yang harus dimiliki seseorang agar dapat menjadi orang beriman dan bertakwa, berilmu, dan seterusnya.

 

Mengingat pendidikan idealnya proses sepanjang hayat, maka lulusan atau keluaran dari suatu proses pendidikan tertentu harus dipastikan memiliki kompetensi yang diperlukan untuk melanjutkan pendidikannya secara mandiri sehingga esensi tujuan pendidikan dapat dicapai.

 

Perencanaan Pembelajaran

 

Dalam usaha menciptakan sistem perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian yang baik, proses panjang tersebut dibagi menjadi beberapa jenjang, berdasarkan perkembangan dan kebutuhan peserta didik. Setiap jenjang dirancang memiliki proses sesuai perkembangan dan kebutuhan peserta didik sehingga ketidakseimbangan antara input yang diberikan dan kapasitas pemrosesan dapat diminimalkan.

Sebagai konsekuensi dari penjenjangan ini, tujuan pendidikan harus dibagi-bagi menjadi tujuan antara. Pada dasarnya kurikulum merupakan perencanaan pembelajaran yang dirancang berdasarkan tujuan antara di atas. Proses perancangannya diawali dengan menentukan kompetensi lulusan (standar kompetensi lulusan). Hasilnya, kurikulum jenjang satuan pendidikan.

 

Dalam teori manajemen, sebagai sistem perencanaan pembelajaran yang baik, kurikulum harus mencakup empat hal. Pertama, hasil akhir pendidikan yang harus dicapai peserta didik (keluaran), dan dirumuskan sebagai kompetensi lulusan. Kedua, kandungan materi yang harus diajarkan kepada, dan dipelajari oleh peserta didik (masukan/standar isi), dalam usaha membentuk kompetensi lulusan yang diinginkan. Ketiga, pelaksanaan pembelajaran (proses, termasuk metodologi pembelajaran sebagai bagian dari standar proses), supaya ketiga kompetensi yang diinginkan terbentuk pada diri peserta didik. Keempat, penilaian kesesuaian proses dan ketercapaian tujuan pembelajaran sedini mungkin untuk memastikan bahwa masukan, proses, dan keluaran tersebut sesuai dengan rencana.

 

Dengan konsep kurikulum berbasis kompetensi, tak tepat jika ada yang menyampaikan bahwa pemerintah salah sasaran saat merencanakan perubahan kurikulum, karena yang perlu diperbaiki sebenarnya metodologi pembelajaran bukan kurikulum. (Mohammad Abduhzen, “Urgensi Kurikulum 2013”, Kompas, 21/2 dan “Implementasi Pendidikan”, Kompas, 6/3). Hal ini menunjukkan belum dipahaminya secara utuh bahwa kurikulum berbasis kompetensi termasuk mencakup metodologi pembelajaran.

 

Tanpa metodologi pembelajaran yang sesuai, tak akan terbentuk kompetensi yang diharapkan. Sebagai contoh, dalam Kurikulum 2013, kompetensi lulusan dalam ranah keterampilan untuk SD dirumuskan sebagai “memiliki (melalui mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyaji,  menalar, mencipta) kemampuan pikir dan tindak yang produktif  dan kreatif, dalam ranah konkret dan  abstrak, sesuai dengan yang  ditugaskan kepadanya.”

Kompetensi semacam ini tak akan tercapai bila pengertian kurikulum diartikan sempit, tak termasuk metodologi pembelajaran. Proses pembentukan kompetensi itu, sudah dirumuskan dengan baik melalui kajian para peneliti, dan akhirnya diterima luas sebagai suatu taksonomi.

 

Pemikiran pengembangan Kurikulum 2013 seperti diuraikan di atas dikembangkan atas dasar taksonomi-taksonomi yang diterima secara luas, kajian KBK 2004 dan KTSP 2006, dan tantangan Abad 21 serta penyiapan Generasi 2045. Dengan demikian, tidaklah tepat apa yang disampaikan Elin Driana, “Gawat Darurat Pendidikan” (Kompas, 14/12/2012) yang mengharapkan sebelum Kurikulum 2013 disahkan, baiknya dilakukan evaluasi terhadap kurikulum sebelumnya.

 

Mengatakan tidak ada masalah dengan kurikulum saat ini adalah kurang tepat. Sebagai contoh, hasil pembandingan antara materi TIMSS 2011 dan materi kurikulum saat ini, untuk mata pelajaran Matematika dan IPA, menunjukkan, kurang dari 70 persen materi TIMSS yang telah diajarkan sampai dengan kelas VIII SMP.

Belum lagi rumusan kompetensi yang belum sesuai dengan tuntutan UU dan praktik terbaik di dunia, ketidaksesuaian materi matapelajaran dan tumpang tindih yang tidak diperlukan pada beberapa materi matapelajaran, kecepatan pembelajaran yang tidak selaras antarmata pelajaran, dangkalnya materi, proses, dan penilaian pembelajaran, sehingga peserta didik kurang dilatih bernalar dan berfikir.

 

Kompetensi Inti

 

Kompetensi lulusan jenjang satuan pendidikan pun masih memerlukan rencana pendidikan yang panjang untuk pencapaiannya. Sekali lagi, teori manajemen mengajarkan, untuk memudahkan proses perencanaan dan pengendaliannya, pencapaian jangka panjang perlu dibagi-bagi jadi beberapa tahap sesuai dengan jenjang kelas di mana kurikulum tersebut diterapkan.

 

Sejalan dengan UU, kompetensi inti ibarat anak tangga yang harus ditapak peserta didik untuk sampai pada kompetensi lulusan jenjang satuan pendidikan. Kompetensi inti meningkat seiring meningkatnya usia peserta didik yang dinyatakan dengan meningkatnya kelas.

 

Melalui kompetensi inti, sebagai anak tangga menuju ke kompetensi lulusan, integrasi vertikal antarkompetensi dasar dapat dijamin, dan peningkatan kemampuan peserta dari kelas ke kelas dapat direncanakan. Sebagai anak tangga menuju ke kompetensi lulusan multidimensi, kompetensi inti juga memiliki multidimensi. Untuk kemudahan operasionalnya, kompetensi lulusan pada ranah sikap dipecah menjadi dua, yaitu sikap spiritual terkait tujuan membentuk peserta didik yang beriman dan bertakwa, dan kompetensi sikap sosial terkait tujuan membentuk peserta didik yang berakhlak mulia, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab.

 

Kompetensi inti bukan untuk diajarkan, melainkan untuk dibentuk melalui pembelajaran mata pelajaran-mata pelajaran yang relevan. Setiap mata pelajaran harus tunduk pada kompetensi inti yang telah dirumuskan. Dengan kata lain, semua mata pelajaran yang diajarkan dan dipelajari pada kelas tersebut harus berkontribusi terhadap pembentukan kompetensi inti.

 

Ibaratnya, kompetensi inti merupakan pengikat kompetensi-kompetensi yang harus dihasilkan dengan mempelajari setiap mata pelajaran. Di sini kompetensi inti berperan sebagai integrator horizontal antarmata pelajaran.

 

Dengan pengertian ini, kompetensi inti adalah bebas dari mata pelajaran karena tidak mewakili mata pelajaran tertentu. Kompetensi inti merupakan kebutuhan kompetensi peserta didik, sedangkan mata pelajaran adalah pasokan kompetensi dasar yang akan diserap peserta didik melalui proses pembelajaran yang tepat, menjadi kompetensi inti. Bila pengertian kompetensi inti telah dipahami dengan baik, tentunya tidak akan ada kritikan bahwa Kurikulum 2013 adalah salah dengan alasan pada “Kompetensi Inti Bahasa Indonesia” tidak terdapat kompetensi yang mencerminkan kompetensi Bahasa Indonesia, karena memang tidak ada yang namanya kompetensi inti Bahasa Indonesia, sebagaimana yang dipertanyakan Acep Iwan Saidi, “Petisi untuk Wapres” (Kompas, 2/3).

 

Dalam mendukung kompetensi inti, capaian pembelajaran mata pelajaran diuraikan menjadi kompetensi dasar-kompetensi dasar yang dikelompokkan menjadi empat. Ini  sesuai dengan rumusan kompetensi inti yang didukungnya, yaitu dalam kelompok kompetensi sikap spiritual, kompetensi sikap sosial, kompetensi pengetahuan, dan kompetensi keterampilan.

 

Uraian kompetensi dasar sedetil ini adalah untuk memastikan bahwa capaian pembelajaran tidak berhenti sampai pengetahuan saja, melainkan harus berlanjut ke keterampilan, dan bermuara pada sikap.

Kompetensi dasar dalam kelompok kompetensi inti sikap bukanlah untuk peserta didik, karena kompetensi ini tidak diajarkan, tidak dihafalkan, tidak diujikan, tapi sebagai pegangan bagi pendidik, bahwa dalam mengajarkan mata pelajaran tersebut, ada pesan-pesan sosial dan spiritual yang terkandung dalam materinya. Apabila konsep pembentukan kompetensi ini dipahami, dapat mengurangi bahkan menghilangkan kegelisahan yang disampaikan L. Wiliardjo dalam “Yang Indah dan yang Absurd” (Kompas,  22/2)

 

Kedudukan Bahasa

 

Uraian rumusan kompetensi seperti itu masih belum cukup untuk dapat digunakan, terutama saat merancang kurikulum SD (jenjang sekolah paling rendah), tempat dimana peserta didik mulai diperkenalkan banyak kompetensi untuk dikuasai. Pada saat memulainya pun, peserta didik SD masih belum terlatih berfikir abstrak. Dalam kondisi seperti inilah, maka terlebih dahulu perlu dibentuk suatu saluran yang menghubungkan sumber-sumber kompetensi, yang sebagian besarnya abstrak, kepada peserta didik yang masih mulai belajar berfikir abstrak.

 

Di sini peran bahasa menjadi dominan, yaitu sebagai saluran mengantarkan kandungan materi dari semua sumber kompetensi kepada peserta didik.

 

Usaha membentuk saluran sempurna (perfect channels dalam teknologi komunikasi) dapat dilakukan dengan menempatkan bahasa sebagai penghela mata pelajaran-mata pelajaran lain. Dengan kata lain, kandungan materi mata pelajaran lain dijadikan sebagai konteks dalam penggunaan jenis teks yang sesuai dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Melalui pembelajaran tematik integratif dan perumusan kompetensi inti, sebagai pengikat semua kompetensi dasar, pemaduan ini akan dapat dengan mudah direalisasikan.

 

Dengan cara ini pula, maka pembelajaran Bahasa Indonesia dapat dibuat menjadi kontekstual, sesuatu yang hilang pada model pembelajaran Bahasa Indonesia saat ini, sehingga pembelajaran Bahasa Indonesia kurang diminati oleh pendidik maupun peserta didik.

 

Melalui pembelajaran Bahasa Indonesia yang kontekstual, peserta didik sekaligus dilatih menyajikan bermacam kompetensi dasar secara logis dan sistematis. Mengatakan kompetensi dasar Bahasa Indonesia SD, yang memuat penyusunan teks untuk menjelaskan pemahaman peserta didik, terhadap ilmu pengetahuan alam sebagai mengada-ada (Acep Iwan Saidi, “Petisi untuk Wapres”), sama saja dengan melupakan fungsi bahasa sebagai pembawa kandungan ilmu pengetahuan.

 

Kurikulum 2013 adalah kurikulum berbasis kompetensi yang pernah digagas dalam Rintisan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, tapi belum terselesaikan karena desakan untuk segera mengimplementasikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006. Rumusannya berdasarkan pada sudut pandang yang berbeda dengan kurikulum berbasis materi, sehingga sangat dimungkinkan terjadi perbedaan persepsi tentang bagaimana kurikulum seharusnya dirancang. Perbedaan ini menyebabkan munculnya berbagai kritik dari yang terbiasa menggunakan kurikulum berbasis materi. Untuk itu ada baiknya memahami lebih dahulu terhadap konstruksi kompetensi dalam kurikulum sesuai koridor yang telah digariskan UU Sisdiknas, sebelum mengkritik

 

0

kebijakan kurikulum 2013

Pro Dari Adanya Pengembangan Kurikulum 2013

Dalam kondisi apapun semuanya perlu adanya perubahan. Karena dengan adanya sebuah perubahan kondisi yang di inginkan akan semakin baik begitu juga sebaliknya, apabila tidak adanya perubahan maka kondisi itu akan tetap bahkan dapat menjadi buruk. Sama halnya dengan pendidikan nasional di negara kita yang membutuhkan sebuah perubahan untuk menjadi lebih baik.salah satunya yaitu pemerintah melakukan pengembangan kurikulum dari tahap ke tahap. Terbukti negara kita sudah mengalami pengembangan kurikulum sudah sembilan kali.

Yang akan kita bahas dalam topik kali ini adalah kurikulum 2013. Kurikulum 2013 ini merupakan kurikulum yang lebih menfokuskan beberapa mata pelajaran saja. Kurikulum 2013 berbasis pada sains. Kurikulum 2013 untuk SD, bersifat tematik integratif. Kompetensi yang ingin dicapai adalah kompetensi yang berimbang antara sikap, keterampilan, dan pengetahuan, disamping cara pembelajarannya yang holistik dan menyenangkan. Proses pembelajaran menekankan aspek kognitif, afektif, psikomotorik melalui penilaian berbasis tes dan portofolio saling melengkapi. Alokasi waktu per jam pelajaran SD 35 menit. Banyak jam pelajaran per minggu Kelas I = 30 jam, kelas II= 32 jam, kelas III=34 jam, kelas IV, V,VI=36 jam. Mata pelajara (MAPEL) SD diantaranya:

    • Pendidikan Agama
    • PPKn
    • Bahasa Indonesia
    • Matematika
    • IPA
    • IPS
    • Seni Budaya dan Prakarya (Muatan Lokal; Mulok)
    • Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan (Muatan Lokal;Mulok)

Mata pelajaran SMP MTs kurikulum 2013 sebagai berikut:

Mata Pelajaran:

    • Pendidikan Agama dan Budi Pekerti
    • PPKn
    • Bahasa Indonesia
    • Matematika
    • IPA
    • IPS
    • Bahasa Inggris
    • Seni Budaya (Muatan Lokal)
    • Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan (Muatan Lokal)
    • Prakarya (Muatan Lokal)
    • Alokasi waktu per jam pelajaran SMP = 40 menit
    • Banyak jam pelajaran per minggu 38 jam

Mata pelajaran SMA – MA kurikulum 2013 sebagai berikut:

  • Pendidikan Agama dan Budi Pekerti
  • PPKn
  • Bahasa Indonesia
  • Matematika
  • Sejarah Indonesia
  • Bahasa Inggris
  • Seni Budaya (Muatan Lokal)
  • Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan (Muatan Lokal)
  • Prakarya dan Kewirausahaan (Muatan Lokal)
  • Alokasi waktu per jam pelajaran SMA = 45 menit
  • Banyak jam pelajaran per minggu SMA = 39 jam

Dalam teori manajemen, sebagai sistem perencanaan pembelajaran yang baik, kurikulum harus mencakup empat hal. Pertama, hasil akhir pendidikan yang harus dicapai peserta didik (keluaran), dan dirumuskan sebagai kompetensi lulusan. Kedua, kandungan materi yang harus diajarkan kepada, dan dipelajari oleh peserta didik (masukan/standar isi), dalam usaha membentuk kompetensi lulusan yang diinginkan. Ketiga, pelaksanaan pembelajaran (proses, termasuk metodologi pembelajaran sebagai bagian dari standar proses), supaya ketiga kompetensi yang diinginkan terbentuk pada diri peserta didik. Keempat, penilaian kesesuaian proses dan ketercapaian tujuan pembelajaran sedini mungkin untuk memastikan bahwa masukan, proses, dan keluaran tersebut sesuai dengan rencana.

Bergantinya kurikulum yang lama dengan yang baru bukan berarti menganti seluruhnya namun lebih mengembangkan atau menyempurnakan kedalam kurikulum yang baru ini. Agar empat aspek di atas dapat tercapai semakin baik. Jadi tidak ada salahnya bahwa pemerintah mengubah kurikulum lagi apabila itu berniat untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia.

0

tolak kurikulum 2013

Kontra Dari Adanya Pengembangan Kurikulum 2013

Perubahan kurikulum yang akan diberlakukan pada 2013 mendatang memiliki tujuan untuk meningkatkan rasa ingin tahu siswa dan mendorong siswa untuk aktif. Pada kurikulum baru, siswa tidak hanya menjadi obyek namun bisa menjadi subyek dengan ikut mengembangkan wawasan pembelajaran yang ada. Standar penilaian pada kurikulum baru tentu berbeda dengan kurikulum sebelumnya. Mengingat tujuannya untuk mendorong siswa aktif dalam tiap materi pembelajaran, maka salah satu komponen nilai siswa adalah jika si anak banyak bertanya.

Selain keaktifan bertanya, komponen lain yang akan masuk dalam standar penilaian adalah proses dan hasil observasi siswa terhadap suatu masalah yang diajukan guru. Kemudian, kemampuan siswa menalar suatu masalah juga menjadi komponen penilaian sehingga anak terus diajak untuk berpikir logis. Yang terakhir adalah kemampuan anak berkomunikasi melalui presentasi mengenai pelajaran yang dibahas. Namun kurikulum baru yang nantinya akan menggantikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ini dinilai pro-kontra. Kurikulum ini menurut pakar pendidikan hanya sesuai untuk anak-anak yang berasal dari golongan menengah ke atas. Padahal, maksud dari penerapan kurikulum baru ini antara lain agar metode yang muncul di sekolah internasional juga dapat dirasakan seluruh sekolah di Indonesia. Mengapa demikian?

Karena kurikulum baru nanti akan sulit dikembangkan pada sekolah di seluruh Indonesia. Untuk sekolah yang didominasi oleh siswa dari golongan menengah ke atas, kurikulum ini masih dapat berjalan, tapi tidak sebaliknya. Metode pembelajaran pada kurikulum yang mengandalkan observasi ini sebenarnya sudah diterapkan di sekolah internasional yang ada di Indonesia. Tidak hanya sekolah internasional, sekolah-sekolah yang dikelola oleh perorangan atau yayasan juga sudah menggunakan metode ini dan memang hasilnya lebih baik. Tapi kenyataannya di Indonesia kebanyakan adalah sekolah biasa bukan seperti sekolah internasional yang memiliki fasilitas yang lengkap. Selain itu guru-gurunya, kesejahteraannya masih bermasalah, kualitasnya juga beragam.

Menurut para guru untuk kurikulum 2013 justru mengurangi konsentrasi pembelajaran karena menggabungkan mata pelajaran IPA dengan Bahasa Indonesia di sekolah dasar. Ini terlalu ideal karena tidak mempertimbangkan kemampuan guru serta tidak dilakukan uji coba dulu di sejumlah sekolah sebelum diterapkan. Selain itu guru-guru juga membutuhkan adaptasi yang lama untuk beradaptasi dengan perubahan kurikulum yang mendadak ini. Hal lain dari kurikulum 2013 nantinya adalah pada kurikulum baru nanti, guru tak lagi dibebani dengan kewajiban untuk membuat silabus untuk pengajaran terhadap anak didiknya seperti yang terjadi pada saat KTSP. Kemudian masalah yang cukup signifikan dan berdampak pada anak didik pada tahun sebelumnya adalah banyak bermunculannya Lembar Kerja Siswa (LKS) dengan konten tak sesuai. Hal ini disebabkan kemampuan guru dalam membuat soal latihan untuk murid kadang terbatas sehingga penggunaan LKS dijadikan pilihan.

Untuk jam pelajaran dan pembelajaran dalam kurikulum 2013 nanti, untuk SD yang semula 10 mata pelajaran akan menjadi enam mata pelajarann yakni Matematika, Bahasa Indonesia, Pendidikan Agama, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, serta Kesenian. Di lain pihak, materi IPA dan IPS menjadi tematik di pelajaran-pelajaran lainnya. Untuk Siswa SMP dari 32 jam menjadi 38 jam pelajaran per minggu. Mengacu kurikulum baru, jumlah mata pelajaran SMP yang semula 12 nanti menjadi 10 mata pelajaran. Mata ajar muatan lokal dan pengembangan diri akan melebur ke dalam mata pelajaran seni budaya dan prakarya. Sedangkan mata pelajaran yang lain tetap, yakni Pendidikan Agama, Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, Bahasa Inggris, Seni Budaya (muatan lokal), Pendidikan Jasmani dan Kesehatan. Adapun untuk tingkat SMA masih relatif sama dan tak ada perubahan yang signifikan.

0

kilas kurikulum 2013

 Adanya Kurikulum 2013 untuk Pendidikan Indonesia

 

Kurikulum merupakan salah satu komponen penting dalam sistem pendidikan. pentingnya komponen ini karena dapat dikatakan sebagai poros bagi roda pendidikan di sekolah. Semua kegiatan proses belajar mengajar disekolah mengacu pada kurikulum yang berlaku. Kurikulum disini diartikan sebagai seperangkat pengalaman belajar yang dirancang untuk siswa dalam usaha mencapai tujuan pendidikan. oleh karena itu kurikulum harus dipahami dengan baik oleh semua personalia sekolah. Kurikulum merupakan sarana untuk mencapai program pendidikan yang dikehendaki.

Indonesia mengalami banyak pengembangan kurikulum dari kurikulum 1947, kurikulum 1952, kurikulum 1964, kurikulum 1968, kurikulum 1975, kurikulum 1984, kurikulum 1994, kurikulum 2004 atau KBK (kurikulum Berbasis Kompetensi) hingga kurikulum 2006 atau KTSP. Pada kurikulum 2006 ini tidak ada perubahan yang signifikan pada pendidikan di Indonesia sehingga pemerintah melakukan perubahan lagi dengan mengembangkan kurikulum 2006 menjadi kurikulum 2013.

Kurikulum 2013 ini menuntut kemampuan guru dalam berpengetahuan dan mencari tahu pengetahuan sebanyak-banyaknya karena siswa zaman sekarang telah mudah mencari informasi dengan bebas melalui perkembangan teknologi dan informasi. Sedangkan untuk siswa lebih di dorong untuk memiliki tanggung jawab kepada lingkungan, kemampuan interpesonal, antarpersonal maupun kemampuan berpikir kritis. Sebelum pelaksanaan penerapan kurikulum 2013 ini, pemerintah melakukan uji public untuk menetukan kelayakan kurikulum ini di mata public. Kemudian pada akhirnya di tahun 2013 akan mulai diberlakukan kurikulum secara bertahap.

Dari pengembangan-pengembangan yang dilakukan oleh pemerintah dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Selain meningkatkan kualitas pendidikan, dengan perkembangan kurikulum lulusan peserta didik dapat mengurangi data pengangguran di Indonesia. Namun setiap kurikulum pastilah memiliki kekurangan dan perlu di evaluasi serta perbaikan agar tujuan pendidikan tercapai dengan baik.

Keberhasilan dari perubahan kurikulum di sekolah juga akan sangat tergantung pada guru dan kepala sekolah yang dijadikan sebagai kunci yang menetukan serta menggerakan berbagai komponen dan dimensi sekolah lainnya. keberhasilan implementasi kurikulum ini juga dipengaruhi oleh kemampuan guru terutama berkaitan dengan pengetahuan dan kemampuan, serta tugas yang ia emban. Tidak jarang kegagalan dalam pengimplementasian kurikulum ini karena kurannya keterampilan, pengetahuan serta kemampuan guru dalam memahami tugas-tugas harus ia selesaikan. Di sisi lain kelemahan dan hambatan dalam implementasi kurikulum ini  bersumber pada persepsi yang berbeda di antara komponen-komponen pelaksana (kepala dinas, pengawas, kepala sekolah, dan guru), serta kurangnya kemampuan menerjemahkan kurikulum ke dalam operasi pembelajaran. Kondisi ini disebabkan karena pengangkatan mereka bukan berdasarkan keahlian untuk mengemban tugas yang dituntutkan oleh kedudukannya.

Adapun sikap pesimis masyarakat dalam menyikapi setiap perubahan kurikulum yang menganggap bahwa dengan adanya perkembangan kurikulum akan memboroskan uang negara. Karena semakin lama, pendidikan di Indonesia semakin mahal. Masyarakat beranggapan dengan adanya pengembangan kurikulum secara terus-menerus namun tidak di imbangi dengan memberikan pengembangan pada pendidik, maka pengembangan kurikulum tersebut dilakukan percuma. Karena di Indonesia masih banyak guru yang tidak sesuai dengan kualifikasinya. Maksudnya guru bahasa inggris namun menjadi guru BK (Bimbingan Konseling). Dengan adanya hal tersebut pemerintah seharusnya memiliki ide khusus untuk menyikapi hal tersebut, sehingga tidak hanya melakukan pengembangan kurikulum secara terus-menerus.

Pengembangan kurikulum hendaknya ditinjau dulu baik buruknya dari semua aspek. Jika memang harus terjadi perubahan kurikulum maka segerahlah mensosialisasikan kepada semua masyrakat serta memberikan pelatihan kepada guru dan kepala sekolah agar kurikulum yang baru bisa berjalan dengan baik serta tujuan pendidikan dapat tercapai.